Dampak Ekonomi Jika Inggris Keluar dari Uni Eropa

Inggris Keluar dari Uni Eropa
Menyambung artikel pro kontra brexit Inggris sebelumnya, pertanyaannya adalah apa dampak ekonomi jika Inggris keluar dari Uni Eropa (UE)?

Kalangan bisnis Inggris bereaksi negatif terhadap kemungkinan Inggris keluar dari Uni Eropa. Sentimen brexit diyakini akan memperburuk perekonomian, merusak investasi dan mengancam lapangan kerja. Sebanyak 198 pimpinan dari 36 perusahaan besar di Inggris yang terdaftar dalam FTSE 100, Selasa (23/2), menandatangani surat yang dimuat di harian the Times. Isinya, menyerukan agar Inggris tetap berada di dalam Uni Eropa. Gagasan brexit juga dinilai akan mengancam perekonomian dan meningkatkan jumlah penganggur. Surat tersebut muncul hampir bersamaan dengan pidato Perdana Menteri David Cameron di hadapan parlemen Inggris yang juga menyuarakan dampak negatif brexit terhadap masa depan perekonomian Inggris.

Isyarat negatif sudah muncul ketika nilai tukar poundsterling anjlok pada Senin lalu, yang merupakan terlemah selama tujuh tahun terakhir. Melemahnya poundsterling dipicu oleh pernyataan Wali Kota London Boris Johnson, sosok yang berpengaruh di Inggris. Johnson memutuskan untuk berkampanye mendukung Inggris keluar dari UE dalam referendum 23 Juni nanti. Sementara dukungan untuk Cameron juga datang dari lembaga pemeringkat kredit, Fitch Ratings dan Moody’s Investor Service. Keduanya menegaskan, perekonomian Inggris bakal rusak jika negeri ini memilih keluar dari Uni Eropa. Fitch menambahkan, brexit akan berisiko negatif dalam waktu panjang dan akan menghantam investasi di Inggris. S & P juga memperingatkan bahwa jika Inggris keluar dari UE kemungkinan akan memangkas rating kreditnya yang saat ini tercatat AAA. Pemangkasan credit rating ini akan dilakukan S & P dengan alasan jika Inggris meninggalkan UE maka dapat mengurangi arus investasi jangka panjang sehingga kota London sebagai pusat perbankan tentu akan bergejolak.

Terlepas dari perdebatan-perdebatan tersebut, pasar finansial biasanya berfokus pada sisi ekonomi. Hal ini bisa ditengok dari aspek perdagangan dan sektor finansial. Hubungan dagang diantara keduanya sudah terjalin amat erat. Faktanya lebih dari 50 persen ekspor Inggris ditujukan ke UE tapi tidak kebalikannya. Jika brexit terjadi, maka semua barang ekspor tersebut akan dihadapkan pada hambatan-hambatan tarif dan non-tarif yang lebih besar. Di sisi lain ekspor EU ke Inggris hanya 6.6 persen saja.

uk-eu-trade-partnership

Inggris pasca brexit akan harus menegosiasikan banyak hal dengan UE untuk membangun jalinan kerjasaman baru dan ada ketidakpastian yang muncul bersama situasi tersebut. Sudah ada beberapa negara tetangga UE lain yang telah berhasil menjalin hubungan lancar dengan UE tanpa menjadi anggotanya, diantaranya adalah Swiss dan Turki. Swiss merupakan negara anggota European Free Trade Area (EFTA), tetapi bukan termasuk Uni Eropa. Sedangkan Turki telah membangun hubungan custom union dengan UE. Selain itu masih ada sejumlah alternatif lain yang bisa ditempuh Inggris apabila keluar dari UE. Namun perjalanan menuju tercapainya kesepakatan itu takkan mudah, terjal dan penuh ketidakpastian.

Sebelumnya, Mark Carney, Gubernur Bank Sentral Inggris (BOE) telah mengingatkan kepada masyarakat Inggris mengenai skenario terburuk pasca brexit, yakni depresiasi poundsterling akibat hengkangnya investor asing. Rencana keluarnya Inggris dari UE memang mengundang komentar dari berbagai kalangan. Para pebisnis umumnya tak sependapat dengan brexit.

Carolyn McCall, Kepala Eksekutif Maskapai EasyJet mengatakan, akan sulit bagi Pemerintah Inggris bernegosiasi dengan 27 anggota negara Uni Eropa lain untuk mendapatkan hak terbang yang kini dimiliki EasyJet di Uni Eropa, bila kelak cabut. Ian Robertson, Direktur Penjualan dan Pemasaran BMW menambahkan, Inggris memiliki industri otomotif yang paling beragam di antara negara Eropa dan merupakan pasar keempat terbesar BMW Group di seluruh dunia. Akan sangat menyesal melihat Inggris meninggalkan Eropa. Mewakili sektor keuangan, James Bardrick, Kepala Citi Inggris menjelaskan, apabila brexit terjadi, Citi harus mengubah operasional bisnis dan merelokasi kembali ke Uni Eropa. Secara teknis hal ini mungkin dilakukan, namun biayanya sangat mahal dan tidak efisien. Lebih jauh lagi, Citibank menilai Inggris bisa kehilangan 75,000 lapangan kerja jika keluar dari UE.

Analis dari bank-bank besar dunia cenderung menyebutkan skenario terburuk yang mungkin terjadi jika Inggris keluar dari UE.

Goldman Sachs, misalnya, mengatakan Poundsterling akan kehilangan 20% nilainya, ambrol ke 1.15 atau 1.20 terhadap Dolar apabila itu terjadi, dikarenakan terinterupsinya aliran dana investasi masuk Inggris. Hal senada disiratkan Bank of England, yang pada rapat terakhirnya awal Februari menyebutkan, kekuatiran akan Brexit telah membebani Pounds.

Tak mau kalah, Nomura memperingatkan Brexit bisa mendorong Inggris masuk resesi, dan UBS memperkirakan Inggris akan kehilangan 0.6-2.8% GDP-nya. Deutsche Bank, HSBC, dan JP Morgan Chase pun mengatakan akan memindahkan kantor pusatnya keluar Inggris, sehingga bisa mengakibatkan pengangguran dan kerugian finansial besar.

Di satu sisi ini bisa jadi cuma langkah bank-bank besar untuk menakut-nakuti saja, mengingat mereka selama ini telah menggunakan Inggris sebagai landasan ekspansi di Eropa. London adalah pusat perdagangan Forex dunia, dimana 40% transaksi dunia dilakukan. Inggris juga pusat perdagangan komoditas dan derivatif. Jadi ancaman akan keluar dari Inggris pun bisa jadi ya hanya ancaman semata.

Namun di lain pihak, pendapat sektor perbankan penting bagi Inggris karena sektor finansial merupakan salah satu kunci penggerak perekonomiannya. Sekitar 8 persen GDP Inggris berasal dari sektor finansial dan sektor itu pun menyerap sekitar 3.4 persen tenaga kerja di Inggris.

Demikian Dampak Ekonomi Jika Inggris Keluar dari Uni Eropa.

sumber: Seputar Forex, The Economist, Bloomberg, Investing, dll

Login FB & Silahkan Komen

comments

Scroll to top